Hantu - Pertama kali berita itu kudengar dari Herman. Katanya, di studio fotografi Harisman ada hantunya. Ada-ada saja cerita orang. Ternyata cerita yang sama kudengar dari orang-orang kampus yang lain.
Keraguan saya mulai goyah. Di zaman milenium ini masih muncul hantu? Hantu-hantu semacam itu mungkin saja ada dalam mesin komputer, namanya virtual reality. Kalau hantu-hantu sejenis itu tentu saja cantik-cantik dan genit.
"Hantu di studio Harisman itu memang cantik!" tukas Harno keras. "Ah, yang benar saja," kataku. Sebagai dosen filsafat setengah baya, yang kata orang berpenyakit puber ketiga, hal-hal seperti itu tentu saja segera menyedot minatku.
Entah karena bawaan gen yang sudah rusak sejak semula, atau karena puber ketiga, setiap ucapan "perempuan" selalu merangsang imajinasi dan daya pikir filosofisku.
Otak ini kok lancar dan mulus untuk diajak berpikir. "Perempuan cantik bagaimana," kataku penuh hasrat, seperti pemburu mobil mendengar adanya produk baru. "Yang cantik suaranya saja. Setiap tengah malam, di hari-hari tertentu ada suara perempuan mandi di kamar mandi studio."
"Belum ada yang berani melihatnya?" "Melihat bagaimana. Boro-boro melihat. Setiap Harisman mendengar ada suara perempuan mandi di studionya, ia langsung tancap gas, kabur!" Sejak itu, diam-diam saya selalu mencoba bertemu Harisman.
Orang ini memang manusia kalong. Siang hari tak pernah muncul. Dia hanya setor muka di depan umum kalau ada upacara pegawai negeri di halaman kampus. Pada saat apel pegawai pada minggu berikutnya, manusia kalong itu dapat kutemui.
"Hei, Ris! Ris, tunggu!" Harisman kelihatan seperti pendekar mabuk. Matanya semburat merah. Pandangannya melayang seperti penari sedang kesurupan. "Katanya di studiomu ada hantunya."
"Ah kata siapa?" "Seluruh negeri ini memperbincangkannya." "Ah, itu gosip murahan yang hanya menghinggapi warga negeri yang hidung belang seperti dirimu." Kalem saja dia di tengah mabuk tidurnya.
"Saya ingin membuktikannya." "Nah, benar, kan. Otak bejat filosofimu itu memang sudah tak bisa diperbaiki." Tiba-tiba Harisman bangun dan melotot padaku."Kamu serius?"
"Tidak serius bagaimana. Perempuan itu problem filosofis terbesar sepanjang abad. Siapa tahu jawabannya ada di hantu perempuan itu." "Ah itu filsafat mata keranjang!" "Kamu serius? Betul? Nah datanglah ke studioku pada malam Selasa Kliwon. Ditanggung kamu dapat ketemu dia. Peluklah dia kuat-kuat dan jadikan binimu!" sambung Harisman.
Memang saya ini bujangan lapuk. Usiaku sudah kepala enam. Kata kawan-kawan, saya ini Sokrates kelas kacangan. Penampilanku memang payah.
Tubuhku pendek, kulitku hitam. Kepala sudah mulai botak di tengah. Mataku agak melotot seperti mau membetot keluar. Mulutku agak monyong. Tetapi otakku cantik, setidak-tidaknya lebih cantik dari kawan-kawan dosen fakultas.
Itulah paradoks manusia, tubuh jelek otak cantik, tubuh cantik otak jelek. Meskipun ada kekecualiannya. Pak Zain itu tubuhnya halus mulus seperti Arjuna Jawa, namun otaknya juga seperti Plato."Bagaimana Tris, masih minat!" kata Harisman menantang.
"Sudah kukatakan serius. Ini fenomena langka." "Nih kunci duplikat studio. Bertobatlah Tris. Tobat. Fokus hidupmu cewek melulu." Langkah pertama adalah memesan kalender Jawa di Solo. Hantu itu hanya muncul pada malam Selasa Kliwon. Pada malam itu saya nongkrong di studio fotografi Harisman mulai jam sepuluh malam.
Studio itu ada di tingkat kedua. Di bawahnya perpustakaan. Bangunannya sudah kuno, mungkin dari tahun 1950-an. Memang serem juga. Tembok-tembok yang tebal dan kaku.
Dingin. Tua. Kata orang, tanah tempat bangunan itu dulunya sawah yang dipakai mengubur korban peledakan bom di Cicadas pada zaman revolusi. Mayat-mayat korban waktu itu dijajarkan di tepi Jalan Cicadas seperti jemuran daun-daun tembakau.Kampus malam hari seperti kuburan.
Sangat sunyi. Decak cicak terdengar seperti letusan senjata. Ruang kerja Harisman penuh foto-foto pertunjukan yang digantung dan ditempel di dinding dengan cara sembarangan. Kamar cuci filmnya dilapisi kain hitam legam.
Tiba-tiba terdengar suara gayung plastik mengenai pinggiran bak mandi. Tak lama kemudian terdengar orang mandi. Padahal kamar mandi gelap, lampu belum dinyalakan. Jantungku seperti berhenti. Bunyi gebyuran air semakin menggila. Ruang tiba-tiba dingin.
Saya sudah siap-siap melarikan diri kalau terjadi hal-hal yang gawat, ketika terdengar suara senandung orang mandi yang lembut dan amat perempuan. Suara perempuan itu dengan segera menindas rasa takutku.
Untuk perempuan, saya sanggup menghadapi setan macam apa pun.Perempuan itu terus mandi di kegelapan. Terdengar suara gosokan sabun di tangan.
Kemudian gosokan di bagian-bagian badan sensitif perempuan. Itu nyata sekali terdengar. Bahkan perempuan itu melenguh lembut dan manja. Seperti dalam cerpen Seno Gumira, saya mengendap-endap mendekati dinding kamar mandi.
Perempuan itu seperti sengaja menggodaku. Libidoku naik kencang. Desahan-desahan lagi. Karena tak tahan lagi, kudobrak pintu kamar mandi, dan kunyalakan skakelar lampu.
Kamar mandi itu kosong! Tetapi di bak mandi, gayung plastik memutar keras di permukaan air. Bulu kudukku berdiri seketika. Sekuat tenaga saya lari tunggang langgang menuruni tangga.
Kejadian itu tak pernah kuceritakan kepada siapa pun, juga kepada Harisman. Kepadanya saya memberi tahu, belum mencobanya. Dasar dorongan libido gila perempuanku tidak mampu kukuasai, maka saya memberanikan diri lagi untuk mendengarkan suara lembut perempuan yang sedang mandi.
Jam sepuluh malam saya mendaki tangga menuju studio. Sesampainya di atas, kudengar ada yang mandi di kamar mandi yang lampunya diterangi. Suara perempuan itu terdengar semakin mendayu-dayu.
Gebyuran airnya membayangkan kesegaran tubuh yang basah. Kali ini bahkan ia menyanyi kecil. Suara perempuan itu. Mandi itu. Tubuh basah itu. Kesegaran itu. Semua itu campur aduk dalam imajinasi yang degil. Nafasku tersengal-sengal.Saya dekati kamar mandi dengan bersijingkat. Ia masih mandi.
Kemudian terdengar suara gosokan sabun yang misterius itu. Saya tidak tahan. Dari lubang kunci saya mengintip ke dalam. Astaga! Tubuh mulus yang kuning putih basah oleh bintik-bintik aliran air yang mengalir ke bawah.
Ia menghadap bak mandi, jadi memunggungi lobang kunci. Tengkuk, leher, belahan punggung, dan pinggulnya yang aduhai sempurna tak pernah kubayangkan.
Tak kusadari berkali-kali kutelan ludah sendiri. Tubuh perempuan yang sempurna. Inilah puncak penciptaan. Inilah karya imajinasi yang amat transenden.Inilah yang menyebabkan rombongan tentara Yunani merobohkan kota
Troya untuk merebut kembali tubuh Hellena yang sempurna. Inilah yang menyebabkan puteri Harisbaya dilarikan sehingga menimbulkan perang. Inilah yang menyebabkan kaum Korawa menelanjangi Drupadi.
Tubuh perempuan. Tubuh itu ternyata hanya estetik dari arah belakang. Dilihat dari depan ia hanya bernama kemaluan. Itulah bagian tubuh sakral perempuan, bagian belakang.
Tiba-tiba kepalanya menoleh ke mata saya. Pada saat itulah bagian tubuh atasnya bergeser dan sekilas kutangkap bagian dadanya yang menyembul dengan amat sempurnanya.
Detak jantungku seperti terhenti seketika. Inilah ekstase estetik yang dimaksud Immanuel Kant! Mati aku oleh keindahan. Ruas-ruas tulang segenap anggota tubuhku seperti kehilangan daya.
Saya rontok oleh demam kesempurnaan tubuh yang menggigilkan. Nafasku masih tersengal-sengal ketika suara debur mandi itu berhenti, dan kamar mandi gelap. Saya masuk, dan kunyalakan lampu. Lantai kamar mandi itu tetap kering.
Dan tak ada sepotong sabun pun ada di situ.Begitulah kukenali keinginan hantu perempuan di kamar mandi studio fotografi Harisman. Saya hanya boleh mengintip. Setiap Selasa Kliwon kutunggu-tunggu dengan penuh g4irah hidup.
Hantu perempuan molek itu seperti mengharap kedatanganku pula. Sejak itu, di kampus saya dikenal sebagai dosen yang ceria penuh daya hidup. Mekanisme berpikirku juga licin lancar, seperti minyak pelumas yang melancarkan mesin built in, seperti tubuh hantu perempuan yang orisinal built up itu.
Benarlah filosofi Kundalini yang menyatakan bahwa energi kreatif itu letaknya di bagian kelamin manusia. Energi kreatifku rupanya naik ke ubun-ubun dan membuat setiap artikel filsafatku menjadi rebutan koran dan jurnal.
Sampai pada suatu hari saya belanja ke sebuah super market untuk memborong persediaan mie instant yang habis. Waktu sedang memasukkan bungkus-bungkus super mie ke keranjang, tiba-tiba saya dikejutkan oleh runtuhnya bungkus-bungkus mie instant ke lantai.
Saya menoleh ke arah suara yang berisik itu. Seorang perempuan muda kebingungan sambil memunguti bungkus-bungkus yang berserakan di lantai. Saya ikut menolong mengembalikan bungkus-bungkus mie itu ke rak.
Perempuan itu menoleh padaku sambil tersipu. Dan, astaga! Itu wajah hantu perempuan di kamar mandi itu. Darah tersirap ke arah kepala. Itulah wajah yang amat kukenal yang selalu menoleh ke arah mataku ketika ia sedang mandi.
Hantu kamar mandi itu ada di toko ini. Kini saya berhadap-hadapan dengan hantu perempuan itu. Otomatis kujelajahi wajahnya, lehernya, dadanya, sampai ke kakinya yang tak pernah kulihat di studio.
"Dasar tua bangka brengsek!" teriaknya sambil melemparkan bungkusan super mie ke lantai, dan meninggalkan tempat itu secepat kilat. Saya hanya dapat melongo menyaksikan hantu perempuan itu menghilang di tengah kerumunan orang belanja.
Bagaimana mungkin hantu perempuan itu ada di dunia nyata kehidupanku. Hantu kamar mandiku membiarkan dirinya saya pandangi secara tel4njan9, meskipun dari belakang.
Perempuan di super market ini marah-marah, ketika dari depan kupandangi seolah-olah dia tel4njan9. Hantu kamar mandiku mau terhadap diriku, tetapi tidak mungkin menjadi kenyataan.
Perempuan super market itu menolak diriku, meskipun amat mungkin menjadi kenyataan. Perempuan, siapakah sebenarnya dirimu?Sebulan kemudian aku lihat Harisman sibuk mengeluarkan barang-barang dari studionya.
"Mau kau apain barang-barang itu, Ria?" "Gedung ini besok sudah harus diruntuhkan, karena mau dibikin tingkat empat. Kamu tidak ada kesempatan berpisah dengan pacar hantumu itu."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar